Cinta. Sebuah kata sakral namun tidak begitu suci lagi di
kalangan masyarakat. Sebuah ungkapan yang hampir nyerempet agamis, karena dipercaya dan dipuja. Sebuah anekdot,
tentang memperhalus penjelasan, mengapa ketika seorang laki – laki sanggup
berhujan – hujanan mengantarkan makanan ke seorang perempuan.
Cinta. Sebuah kata yang jarang kali, namun acap kali
diucapkan. Bukan sekedar diucapkan, karena mengucapkan bisa dilakukan oleh
semua makhluk, tapi mencintai? Hanya segelintir yang bisa. Hanya mereka yang
mengerti indahnya pagi hari dan sejuknya angin.
Cinta. Mungkin satu – satunya hal yang menyebabkan api
dan air bisa menyatu.
Air dan api mungkin dapat menyatu, di satu tempat, namun
saling menghilangkan. Api, bisa menguapkan air, dan air, bisa memadamkan api. State of Equilibrium yang hampir
mustahil bagi keduanya untuk dapat disatukan. Namun, sekali lagi, cinta, tidak
menuntut teori dan hipotesis, cinta menuntut bukti.
Suatu ketika, api sisa api unggun ditinggal temannya
dalam kesunyian, hingga akhirnya terdengar suara isak tangis. Penasaran, api
mendekatinya, oh ternyata, itu adalah tetes air bekas minum para pendaki yang
menangis sedih, karena teman - temannya
hilang ditelan manusia. Api ingin sekali menghiburnya, namun ia menyakitinya
ketika mendekatinya. Air ketakutan, namun ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Siapa kamu?”, tanyanya sembari menggigil ketakutan.
“Namaku Api, kamu siapa? Kenapa menangis?”, jawab Api.
“Aku Air, aku sedih, karena aku sendiri, tidak ada yang
menemani aku”, jawab Air ambil terus menangis.
Api yang iba akhirnya memutuskan untuk tinggal sejenak
sambil menghibur Air. Menyadari bahwa ia tidak dapat mendekati Air tanpa
menyakitinya, ia pun menjaga jarak dari Air. Kemudian ia mulai menceritakan
banyak cerita lucu dan menghibur untuk Air. Tak lama kemudian, Air pun terbahak
– bahak dibuatnya. Ia lupa akan kesedihannya, ia berkata
“Api, berjanjilah bahwa kau akan selalu dekat denganku”,
“Aku berjanji Air”, jawab Api.
Sebuah ironi, ketika jarak bukan menjadi sebuah syarat,
dan keadaan, Air dan Api tetap merasa dekat walaupun duduk berjauhan. Namun api
tetap merasakan kesejukan air, dan air tetap merasakan kehangatan api. Mereka
pun tertidur di bawah pepohonan hutan.
Bertahun – tahun mereka lalui kehidupan seperti itu,
berjauh – jauhan, bersenda gurau, dan banyak pengalaman. Dari tahun – tahun itu
pula, mereka bertemu sesama Api dan Air, namun tetap, mereka merasa, tempatnya
bukan bersama dengan mereka yang sama. Karena cinta tidak menuntut persamaan,
cinta menuntut perbedaan, sebuah perbedaan yang akan berubah menjadi persamaan
untuk saling menghapus perbedaan.
Hingga suatu hari ada seorang pemburu yang tersesat, dan
menemukan Api yang sedang terlelap, diambilnya sebatang kayu, dan disambarnya
si Api. Api yang terkejut langsung berteriak minta tolong. Air pun terkejut
bukan kepalang, ia ingin sekali menolong Api, namun ia hanya setetes Air.
Akhirnya pergilah Api, bersama si pemburu.
Malam itu juga, Air kembali menangis, namun kini ia
menangis dari hati.
Air yang kemudian tersadar, ia tidak boleh menangis terus
menerus, kemudian bertekad mencari Api. Ia berjalan melintasi hutan yang penuh rintangan
itu menuju pondok si pemburu. Semua ia lakukan demi Api yang tak dapat ia
dekati dan raih, namun ia percaya, bahwa hatinya selalu menunjukkan jalan untuk
kembali padanya.
Setibanya di pondok pemburu, dengan mudah Air menemukan
Api, ia terperangkap dalam sebuah lampu minyak yang berpendar. Seketika itu
pula, Air berlari dan mencoba menyelamatkan Api
“Api, tunggulah, aku akan segera menyelamatkanmu!”, jerit
Air,
“Jauhi aku! Lampu ini membuatku semakin panas, aku tak
ingin melukaimu lebih dalam!”, tolak Api sembari menangis.
“Aku tidak peduli, lebih baik aku mati karena hangatmu
daripada mati karena dinginku!”, sanggah Air.
Berusaha keras, air menabrak – nabrakkan dirinya pada
dinding lampu yang panas, sembari menjerit – jerit, ia tidak berhenti mencoba
menyelamatkan api, hingga akhirnya ia lelah.... dan menguap.
“Tidaaaak!”, jerit Api, dan itu adalah jeritan dari hati,
jeritan yang tidak bisa didengar manusia, jeritan yang paling tulus dari semua
jeritan yang ada. Api menangis, namun tangisannya tak dapat memadamkannya.
Malam semakin larut, pemburu pulang, Api masih menangis,
namun pemburu tak peduli. Pemburu itu sudah sangat lelah dan ingin segera
tidur. Ia langsung menuju lampu tempat si api, dan mematikan lampu itu. Maka
api yang lelah itu juga.... menguap.
Terapung – apung di udara sebagai uap, Api mendengar
suara yang khas dan tak asing lagi. Itu suara Air! Maka mereka berdua kini
terapung – apung di udara, sebagai dua partikel uap, yang tak terpisahkan,
tidak saling menyakiti, namun saling mengisi.
Cinta, tidak menempatkan orang pada state dimana kamu adalah api, dan yang lain adalah air. Cinta,
adalah ketika kamu bisa menjadi dan menjadikan orang yang kamu cintai seperti
uap, terbang kesana kemari, saling mengisi, tidak saling menyakiti.
Sudah temukan uap-mu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar