Rabu, 13 November 2013

Pelaut


Suatu hari, ada seorang pelaut yang terkenal. Ia sudah mengarungi seluruh perairan di dunia. Bertahun - tahun ia mengarungi samudera, berjuta - juta pelabuhan ia singgahi, namun tidak pernah ia bertahan lebih dari sekedar makan atau memenuhi kebutuhan hidupnya di laut untuk beberapa bulan. Ia memiliki harta yang berlimpah, mungkin membeli dunia pun, ia mampu. Hingga akhirnya, pada suatu hari, ia singgah di sebuah pelabuhan sederhana.


Pelabuhan itu merupakan sebuah pelabuhan kecil berwarna abu - abu, kicauan burung semarak mengiringi kedatangan kapal pelaut itu. Pelabuhan ini hanya memiliki satu anjungan sederhana, yang dipenuhi kapal - kapal indah. Kapal - kapal tersebut datang dan pergi, hanya mengambil yang mereka butuhkan, kemudian pergi lagi.

"Ah, buat apa aku berlabuh di sini? Pelabuhan ini tidak semewah pelabuhan di Eropa dulu, tidak sebesar dan secanggih pelabuhan di Amerika, tidak seelok dan sekaya pelabuhan di Indonesia. Hanya waktu dan uang yang aku habiskan jika aku singgah. Tapi, jika aku tidak singgah, maka aku tidak memiliki makanan, ah sudahlah, aku singgah saja sejenak dan langsung pergi lagi, seperti yang lain", pikir si Pelaut.

Akhirnya si Pelaut menambatkan kapalnya di anjungan itu. Di langkah pertama ia memijakkan kakinya di anjungan itu, ia langsung terpikat pada pelabuhan itu. Pada cat abu - abu manisnya, pada halusnya anjungan kayu itu, pada indahnya kicauan burung yang menyambut, namun, tidak dapat ia gambarkan, kenapa ia mencintai pelabuhan itu, seakan kapalnya yang telah tertambat dan tidak mau lepas dari pelabuhan itu.

Bertahun - tahun kemudian, si Pelaut ini tidak pernah beranjak dari pelabuhan itu. Beratus - ratus kali, ia diciduk petugas keamanan yang mencoba mengusirnya dari tempat itu. Namun ia selalu menolak, dan lebih memilih untuk membayar biaya penginapan di sana. Suatu hari, ia berbincang dengan seorang Nelayan yang hendak pergi.

"Hei, mau ke mana kau?", tanya si Pelaut.

"Mau pergi, aku bosan dengan tempat ini", jawab si Nelayan.

"Hah? Lantas, kalau kau tahu kau akan bosan, kenapa kau singgah?" tanya si Pelaut lagi.

"Tempat ini cantik, tapi kecantikan itu akan membosankan bila kau pandangi lama - lama", jawab si Nelayan sembari tertawa terbahak - bahak.

"Huh, baik kalau begitu, pergilah, cari pelabuhan cantik lain seperti yang akan kau tinggalkan ini", sahut Pelaut dengan ketus.

"Memang itu yang akan aku lakukan! Hei, Pelaut tua, kudengar kau sangat kaya, jika kau mencintai pelabuhan ini, kenapa tidak kau beli saja? Miliki pelabuhan ini, penuhi sudut - sudutnya dengan kenangan, usir si pemilik sebelumnya dengan uang mu, sehingga tidak perlu lagi kamu harus membayar rugi dan menahan sakit dikejar - kejar petugas keamanan!" Sahut si Nelayan.

"Aku mencintai pelabuhan ini, lebih dari sekedar memiliki, aku mencintai pelabuhan ini sejak pertama kali aku menjejakkan kakiku di anjungan kayu tua itu. Kekayaanku tidak akan bisa membeli apa yang sudah dibeli pelabuhan ini dariku, seakan - akan kapalku sudah tidak mau lagi mengangkat jangkar dan melepas ikatan dari anjungan itu. Biarlah aku lelah dikejar, sakit karena dihukum, namun, itu semua terbayar dengan kicau burung dan cat abu - abu pelabuhan ini. Aku mencintai pelabuhan ini, seperti kapalku mencintai anjungan tua itu, dan itu tidak bisa dibeli", jawab si Pelaut panjang lebar, diiringi olokan seluruh orang yang mendengar dan derai tawa si Nelayan yang pergi.

Butuh waktu bertahun - tahun bagi si Nelayan dan semua orang yang mendengar perkataan Pelaut itu, bahwa kapal bagi seorang pelaut, lebih dari sekedar kapal,

Tapi juga sebuah nyawa,

dan hati si Pelaut.

Brahmani Dewa Bajra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar